Sunday, July 5, 2015

Hukum Kawin Lari dan Wali Hakim

Akhir-akhir ini dalam era zaman modern sangat membahayakan sekali diantaranya salah satu kasus adalah Kawin Lari dan kali ini islamalloh.blogspot.com akan sedikit mengupas Hukum Kawin Lari menurut pandangan islam yang sesuai dengan syariah. Sangat sulit sekali untuk menyelesaikan permasalahan ini di antaranya sebagai contoh terjadinya Kawin Lari adalah. "Suka sama suka antara laki-laki perjaka dan wanita single(belum menikah) dan sudah baligh ingin menikah tetapi tidak di restui oleh orang tua". 


Dalam pandangan islam, era zaman sekarang adalah yang dikhawatirkan karena sudah terjadi suka sama suka dan hubungan diantara kedua pihak sudah terlalu dekat layak suami istri, yang lebih bahaya adalah terjadi perzinaan yang terus menerus dan apabila sudah menikah (dinikahkan) dengan wali hakim(wali beli) apakah syah dalam hukum islam. Dan pada akhirnya akan menjadi suatu keluarga jika tidak sah dalam HUKUM KAWIN LARI yang akan Lebih bahaya akan menjadikan perzinaan sampai turunannya atau lebih baik di gagalkan. Untuk mengadili atau menghukimi Hukum kawin lari yang sangat memasarakat pada era zaman sekarang ini adalah BOLEH tetapi dengan berbagai syarat sebagai berikut.

1). Sebelumnya kita perlu melihat terlebih dahulu pendapat para ulama seputar hukum wali dalam pernikahan perempuan. Para ulama dalam hal ini terbagi empat pendapat:
  • Pendapat pertama yaitu pendapatnya Jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, di antaranya tiga Imam Madzhab, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, mensyaratkan wali dalam pernikahan seorang perempuan yang sudah dewasa dan berakal, baik dia gadis maupun janda. Jumhur menilai, jika seorang perempuan yang menikah tanpa ada wali, maka pernikahannya tidak sah.
  • Pendapat kedua, yaitu pendapatnya Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi dan Imam az-Zuhri berpendapat bahwa wali bukanlah termasuk syarat sahnya pernikahan. Ia hanya sunnat saja (dianjurkan). Artinya, menurut Imam Abu Hanifah, perempuan yang dewasa dan berakal sehat, baik gadis maupun janda, jika menikah tanpa wali, maka nikahnya sah, namun tidak mendapatkan pahala sunnat.
  • Pendapat ketiga, yaitu pendapatnya Imam Daud ad-Dzahiri, bahwa wali disyaratkan jika perempuan yang hendak menikahnya itu adalah gadis, sedangkan jika ia janda maka tidak disyaratkan.
  • Pendapat keempat, adalah pendapatnya Ibnu Sirin, al-Qasim bin Muhammad, al-Hasan bin Shalih, juga Abu Yusuf, bahwa jika perempuan menikahkan dirinya tanpa wali, maka pernikahannya diserahkan kepada keputusan wali. Jika walinya menyetujui dan merestui, maka pernikahannya sah, namun jika walinya tidak menyetujui, maka tidak sah. Untuk lebih jelas pendapat-pendapat di atas dalam dilihat dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Bidâyatul Mujtahid juga dalam Badâi’ ash-Shanâ’i.
  • Dari keempat pendapat di atas, pendapat Jumhur ulama, hemat saya, dan ini juga banyak diambil oleh sebagian besar Negara-negara Islam, lebih kuat dan lebih sesuai dengan kemaslahatan si wanita juga keluarganya, juga masyarakat muslim pada umumnya. Jumhur ulama berdalil, di antaranya adalah bahwa dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perintah menikahkan perempuan, seperti dalam surat an-Nur ayyat 32, juga al-Baqarah ayat 221, Allah menujukkan pernikahan perempuan atau tidaknya kepada wali mereka. Ini artinya bahwa pernikahan mereka tidak oleh mereka sendiri akan tetapi oleh walinya.
  • Di samping itu, banyak hadits yang lebih mempertegas lagi. Di antaranya adalah dua hadits berikut ini: عَنْ أَبِى مُوسَى أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ)) [رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد] Artinya: “Dari Abu Musa, Rasulullah saw bersabda: “Tidak sah nikah tanpa wali” (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
  • عنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ)). [رواه الترمذي، وابن ماجه وأحمد وقَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَن] Artinya: “Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa idzin dari walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika ia berhubungan badan dengan perempuan tersebut maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, karena telah halal berhubungan badan dengannya. Jika mereka berselisih, maka penguasa (hakim) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Imam Turmudzi berkata: “Hadits ini Hasan”).
  • Kedua hadits di atas dipadang shahih oleh sebagian besar ulama hadits, termasuk ulama hadits belakangan yang terkenal ketat dalam menilai hadits yaitu Syaikh Albany. Ini di antara dalil pendapat Jumhur ulama. Dengan demikian, wali adalah di antara syarat sah pernikahan. Perempuan yang menikah tanpa wali, menurut Jumhur, pernikahannya tidak sah.
  • Lalu kapan wali hakim berperan? Wali hakim berfungsi bagi wanita yang tidak mempunyai wali. Misalnya jika seluruh walinya sudah meninggal dunia, atau wanita yang masuk Islam sementara ayah atau wali lainnya bukan muslim.
  • Selain itu, wali hakim juga dapat berfungsi jika seluruh wali perempuan menolak (wali ‘adhal) menikahkan perempuan tersebut sementara perempuan tersebut berakal sehat, juga baligh, serta calon suaminya satu kufu’ (satu level dengan keadaan si perempuan, terutama dalam hal agamanya). Jika seluruh wali menolak dalam keadaan di atas, maka seluruh ulama sepakat wali berpindah kepada hakim.
  • Demikian juga, menurut Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah, jika seorang wali menolak menikahkan perempuan berakal, dewasa dan calon suaminya itu sekufu’, maka walinya berpindah kepada Wali Hakim. Sedangkan menurut Hambaliah, dalam kasus terakhir ini, kewaliannya berpindah kepada wali yang lebih jauh.
  • Dari sini nampak, bahwa wali hakim tidak dapat berfungsi kecuali jika tidak ada wali atau wali tersebut menolak menikahkan putrinya padahal memenuhi syarat-syarat di atas.
  • Apabila dalam kasus di atas, wali menolak menikahkan perempuan tersebut tanpa alasan yang benar, tidak syar’i, padahal si wanita sudah dewasa, berakal sehat dan calonnya adalah baik agamanya juga satu kufu’, maka jumhur membolehkan untuk menikah dengan wali hakim. Hanya perlu diingat, bahwa syarat-syarat di atas tidak boleh dilihat subjektif. Anda perlu mengetahui alasan orang tua, juga mendengar nasihat keduanya. Penolakan mereka, pasti demi kebaikan putrinya, bukan semata-mata karena factor lain.
  • Oleh karena itu, saya secara pribadi tidak membenarkan seorang perempuan, bagaimanapun keadaannya untuk ‘nikah lari’ tanpa ada idzin dari orang tua khususnya walinya. Karena, orang tua, umumnya jauh lebih mengetahui kemaslahatan putra putrinya. Betapa banyak mereka yang yakin dengan pilihannya, lalu dia ‘kawin lari’ tanpa izin walinya, lalu setelah menikah ia menyesali perbuatannya, dan mengakui kebenaran alasan orang tuanya. Sekali lagi, untuk para wanita, izin orang tua sangatlah perlu dan harus, karena bukan semata untuk masalah sah tidaknya pernikahan, akan tetapi keberkahan setelah pernikahannya. Izin orang tua adalah kunci keberkahan dan kebahagiaan.
  • Demikian juga untuk orang tua, khususnya para wali, tidak dibenarkan menghalang-halangi putrinya untuk menikah dengan seseorang yang menjadi pilihannya selama dia baik, sekufu’, juga putrinya itu telah dewasa. Karena wali yang menghalang-halangi tersebut (wali ‘adhal) dibenci oleh Allah. Allah berfirman:
  • وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوف
  • Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 232).
2). Pernikahannya tetep sah dengan menggunakan perwalian wali hakim tapi dengan syarat :
  • a. Keberadaan wali ada pada radius dua marhalah (+ 82 km)
  • b. Keberadaan wali tidak diketahui
  • c. Wali menolak menikahkan d. Wali sulit dihubungi
(مسألة): أخذ رجل امرأة عن أهلها قهراً وبعدها عن وليها إلى مسافة القصر وكذا دونه، إن تعذرت مراجعته لنحو خوف صح نكاحها بإذنها إن زوّجها الحاكم من كفء، إذ لم يفرق الأصحاب بين غيبة الولي وغيبتها، ولا في غيبتها بين أن تكون مكرهة على السفر أو مختارة، بل أقول: لو كان لها وليّ بالبلد وعضلها بعد أن دعته إلى كفء وتعسر لها إثبات عضله فسافرت إلى موضع بعيد عن الوليّ وأذنت لقاضي البلد الذي انتقلت إليه في تزويجها من الكفء صح النكاح
masalah apabila ada laki2 yg mengambil calon istrinya dari keluarganya secara paksa dan menjauhkannya dari walinya sampai pada jarak masapatul qosri (+82km) kalau disangka akan ada udzur seumpanya takut kembali maka hukum nikahnya sah dengan idzin dari calon wanitanya apabila hakim menikahkan nya dengan orang yg sekufu.

Ghoyatut talhis 102
بل أقول: لو كان لها وليّ بالبلد وعضلها بعد أن دعته إلى كفء وتعسر لها إثبات عضله فسافرت إلى موضع بعيد عن الوليّ وأذنت لقاضي البلد الذي انتقلت إليه في تزويجها من الكفء صح النكاح، وليس تزويج الحاكم في الأوّل من رخص السفر التي لا تناط بالمعاصي كما يتخيل ذلك، نعم قد ارتكب المتعاطي لذلك بقهره الحرة والسفر بها وتغريبها عن وطنها ما لا يحل في الدين ولا يرتضى، بل ذلك من الكبائر العظام التي تردّ بها الشهادة ويحصل بها الفسق
 Tetapi aku (Mushannif/Ibnu Ziyad) berkata, jika perempuan tersebut memiliki wali dinegrinya, tetapi walinnya enggan (tidak mau) menikahkan setelah perempuan tersebut memberitahukan kepadanya (walinya) bahwasanya calon suaminya adalah se kufu’, kemudian perempuan tersebut kesulitan untuk menetapkan ketidak mauan wali untuk menikahkan, lalu peremuan tersebut pergi ke negeri yang jauh dari walinya, yang lau ia mengizinkan qadli/hakim negeri yang ia pindah didalamnya untuk menikahkannya dengan calon suami yang se kufu’ , maka pernikahan tersebut adalah sah. Dan bukanlah pengkawinan yang dilakukan hakim yg pertama tersebut terhadap perempuan tadi merupakan salah satu bentuk rukhsah (keringanan) dari bepergian (safar) yang tidak ada sangkut pautnya dengan kemaksiatan seperti yang dibayangkan demikian.

Maksud dari sekufu,,,
Ianatut tholibin juz 3 hal 377
فصل في الكفاءة أي في بيان خصال الكفاءة المعتبرة في النكاح لدفع العار والضرر . وهي لغة: التساوي والتعادل. واصطلاحا أمر يوجب عدمه عارا. وضابطها مساواة الزوج للزوجة في كمال أو خسة ما عدا السلامة من عيوب النكاح (قوله: وهي) أي الكفاءة. وقوله معتبرة في النكاح لا لصحته: أي غالبا، فلا ينافي أنها قد تعتبر للصحة، كما في التزويج بالاجبار، وعبارة التحفة: وهي معتبرة في النكاح لا لصحته مطلقا بل حيث لا رضا من المرأة وحدها في جب ولا عنة ومع وليها الاقرب فقط فيما عداهما. اه. ومثله في النهاية وقوله بل حيث لا رضا، مقابل قوله لا لصحته مطلقا، فكأنه قيل لا تعتبر للصحة على الاطلاق وإنما تعتبر حيث لا رضا. اه. ع ش. (والحاصل) الكفاءة تعتبر شرط للصحة عند عدم الرضا، وإلا فليست شرطا لها
sekufu :
  • Iffah (menjaga terhadap agama). Orang fasiq (terus menerus berbuat dosa kecil atau pernah berbuat dosa besar) tidak sekufu’ dengan orang yang adil.
  • Terbebas dari segala aib yang bisa menetapkan hak khiyar, seperti gila, lepra, atau penyakit belang.
  • Merdeka/budak. Seorang budak tidak sekufu’ dengan orang yang merdeka.
  • Nasab. Orang ‘ajam tidak sekufu’ dengan orang arab, orang arab yang bukan kaum quraisy (golongan bani Hasyim dan Abdi Manaf) tidak sekufu’ dengan orang quraisy dan selain keturunan dari sydt Fatimah (selain keturunan syd Hasan dan syd Husein) tidak sekufu’ dengan keturunan beliau.
  • Hirfah (pekerjaan). Orang yang pekerjaannya rendahan seperti yang berkaitan dengan najis (tukang bekam/cantuk, tukang sampah atau tukang jagal) tidak sekufu’ dengan pedagang. Namun sebagian ulama’ tidaklah memandang pekerjaan sebagai salah satu factor penetapan kafaah.

0 comments

Post a Comment